Sabtu, 21 Februari 2015

Menuntut Ilmu, Menuntut Bahagia

Mahasiswa tapi masih gini-gini aja.

Mahasiswa katanya.
Namun mana nyatanya.
Saya sedih.
Tiga semester sudah, saya merasa perkuliahan tak seperti yang saya bayangkan.
Jauh.
Saya kira seorang mahasiswa sarat nafsu akan ilmu, belajar karena ingin tahu.
Nyatanya sama saja orientasi hanya pada IP bagus.
Saat semester satu, saya masih menikmati belajar karena ingin tahu. Meski nilai tak bagus-bagus amat, juga tugas melimpah ruah hingga tak tidur dan jarang makan, saya merasa senang menjalaninya. Saya bahagia karena mendapat ilmu yang konkret, yang bisa saya terapkan di kehidupan nyata. Setiap pulang kuliah, saya dengan menggebu-gebu akan menguliahi orang tua di rumah tentang ilmu yang saya dapat di kelas. Sungguh menyenangkan.
Namun lama kelamaan saya termakan sistem.
Entah kenapa saya menyadari kegiatan perkuliahan serasa tak menyenangkan lagi karena kebanyakan teman-teman saya melakuka hal sebaliknya. Semua orang berlomba-lomba mendapat nilai bagus. Sistem yang ada di kampus seperti mengarah ke ujian, bukan pada pemahaman ilmunya. Dampak umumnya, ya mulai dari permahaman mahasiswa yang nol besar sampai ke menghalalkan segala cara untuk IP cum laude. Dampak untuk saya, sekarang setiap saya menikmati menyerap ilmu dalam perkuliahan namun akhirnya nilai saya kalah dengan teman-teman lain yang mengejar nilai, saya jadi merasa gagal, merasa bodoh, merasa kalah, meski saya tahu yang saya rasakan ini salah. Namun apa daya jika lingkungan mengarahkan saya untuk berpikir begitu. Ketika nilai saya bagus pun, saya juga tak lagi bahagia. Saya tak lagi menikmati indahnya menyerap ilmu.
"Tolong perhatikan baik-baik karena ini pasti keluar di ujian."
Ah, kalimat sederhana, namun kerap diucapkan. Rasa-rasanya, karena terlau sering terdengar, kalimat sederhana ini jadi mendoktrin kami.
Saya tak mengatakan saya rajin atau pun cerdas. Hanya saja saya sedih dengan sistem ini.
Dan lebih sedih lagi,
karena saya belum mau berbuat apa-apa,
masih tergilas roda.